CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Monday, December 22, 2008

bayangan.

Aku mendera bayangan
Di kacamata hitam noda sejarah
Aku menengok jiwamu
Serpihan kecil dari tubuhku pun
Ikut sakit dan tercekik
Aku didera bayangan
Sepinya menggema diantara ramaimu
Diamnya merapat

Aku jadi enggan
Diam mengamatimu yang tlah lalu
Cuma cara tuk meyakinkan aku
Aku mendera bayangan
Dilolong anjing bulan purnama
Kau menjelma
-by Intan K-

dia pergi.

Matamu yang bening dan indah
Memandang kosong dan tak berguna lagi
Begitu dalam ku tenggelam
Terlena duka tiada henti

Aku menanti datangnya kasih
Yang takkan pernah tiba tuk berbagi rasa
Aku yang peduli denganmu
Menyimpan rasa cinta yang mendalam

Malam sepi dan tak berbintang
Terlewat dengan hanya merenung diri
Ku selalu tak pernah bisa
Tuk melupakan sejenak kau yang tlah pergi

Bila kau izinkan
Berilah aku tempat dihatimu
Bila engkau izinkan
Kan kukecup luka dihatimu

Hilangkan semua luka dihatimu
Genggamlah tanganku
Kan kutunggu cintamu
Yang jujur kau katakan di dunia abadi nanti
-by Filipus Angga-

Cinta Sejati

Mencintai…

Bukan bagaimana kita melupakan

Melainkan bagaimana kita memaafkan

Bukan bagaimana kita mendengar

Melainkan bagaimana kita mengerti

Bukanlah bagaimana kita melepaskan

Melainkan bagaimana kita merelakan

Bukanlah apa yang kita lihat

Melainkan apa yang kita rasa

Cinta yang agung

Adalah saat kau meneteskan air mata

Dan kau masih peduli terhadapnya

Adalah saat kau melihat ia mencintai yang lain

Dan kau masih setia menantinya

Adalah saat dia tak mempedulikanmu

Dan kau tetap ingin memahaminya

Kebahagiaan

Ada untuk mereka yang menangis

Mereka yang tersakiti

Mereka yang telah mencoba

Dan mereka yang telah mencari

Karena mereka lah yang bisa menghargai

Betapa pentingnya orang-orang

Yang telah menyentuh kehidupan mereka

-by Filipus Angga-

Friday, November 21, 2008

CINTA DIANTARA DUA *BAB SATU*

…Cinta diantara dua…

(Terinspirasi berdasarkan kisah nyata)

BAB 1 YANG TAKKAN HILANG

Cirebon, 3 Juli 2007 16:44. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, hidupku terkadang terasa hampa. Aku hidup sendirian di kota ini. Kota ini bukan kota metropolitan yang pernah aku tinggali 3 tahun lalu. Ini hanya salah satu kota besar di Jawa Barat. Aku hidup sendirian di kota Cirebon sudah 2 tahun tanpa sanak saudara. Aku remaja yang berusaha hidup di tengah dunia yang luas. Tanpa orang tua, tanpa kakak ataupun adik. Tapi aku bersyukur memiliki teman-teman dan sahabat yang memperhatikan aku. Bahkan mengganggap aku sebagai saudara. Jadi aku tidak merasa seorang diri lagi.

Aku hidup dalam rumah sempit seorang diri, walau tak jarang beberapa teman laki-laki ikut menginap. Menemaniku agar aku tak merasa kesepian. Mereka semua memiliki rasa empati terhadapku. Tak heran aku selalu berdoa agar aku tak kehilangan lagi orang-orang yang aku kasihi.

Iya, aku telah kehilangan orang yang aku kasihi. Orangtuaku, ayahanda dan ibunda. Aku pun seorang diri karena aku anak tunggal. Sepi sekali. Ah, tapi itu dulu. Tepatnya bulan September, 3 tahun yang telah berlalu. Aku teringat kembali, kenangan pahit yang menyekik hatiku, terasa dingin membeku tubuhku. Namun Tuhan telah menyisipkan kenangan indah tentang dia… seseorang yang telah menghiburku saatku terjatuh, dimanakah dia sekarang.

***

Jakarta, 31 Agustus 2004 Hari itu tidak seperti hari Selasa yang pernah aku lalui sebelumnya. Selasa pagi aku mendengar berita lisan yang sangat menyayat hatiku. Lewat pesawat telepon, seseorang memberitahuku bahwa ibu pingsan di jalan saat hendak pergi ke kantor. Ibu harus bekerja keras seorang diri demi aku. Karena di awal tahun 2004, ayah meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas akibat kecerobohan supir bus ugal-ugalan yang menabrak ayah saat mengendarai mobil tuanya. Meskipun ayah telah mewariskan hartanya kepada aku dan ibu, beliau harus tetap bekerja keras demi kehidupan keluarga di hari esok.

Saat itu aku baru tahu bahwa ibu mengidap kanker darah yang sudah menginjak stadium akhir. Ibu harus tinggal dirumah sakit karena takkan sanggup lagi mengerjakan pekerjaan hariannya baik di rumah maupun di kantor. Dengan asuransi kesehatan dari kantornya, tak terlalu cukup untuk membiaya pengobatan rumah sakit. Aku pun yang masih duduk di kelas 1 SMA harus merelakan diri bekerja sesudah pulang sekolah menjadi buruh pabrik. Hingga satu bulan kemudian, ibu menghembuskan napas terakhirnya di kamar perawatan rumah sakit dan berpesan padaku, “Ruben… jaga diri kamu baik-baik ya nak. Ibu dan ayah hanya bisa mengawasi dari kejauhan.”

Tanggal 28 September 2004, aku kehilangan semuanya. Tangisku pecah dalam keheningan rumah sakit. Aku benci rumah sakit, disana tempat manusia yang keadaan lemah dan menunggu keadaan dirinya pulih atau harus pergi dari dunia.

Keesokan harinya, ibu yang lebih terlihat seperti tertidur dimakamkan disamping makam ayah. Sepanjang pemakaman berlangsung aku menangis tanpa suara. Semua orang menanamkan rasa dukacita yang mendalam terhadapku. Begitu juga dengan teman SMA di Jakarta.

“Ruben, gue turut berduka cita…” ucap Cheila kepadaku. Dialah satu-satu teman cewek yang dekat denganku. Aku sempat digosipkan pacaran dengannya, karena kami berdua sama-sama masih jomblo, tapi seiring angin berhembus gosip itu pun hilang soalnya kenyataannya kami sekedar sahabat baik. Tapi aku juga kurang memahami isi hatiku yang sebenarnya, terkadang aku merasakan getaran hati.

“Makasih Cheila…” aku pun mengusap air mata yang tadinya mengalir terus. Aku ingin terlihat tegar di depan Cheila. Cheila juga banjir air mata. Mungkin karena Cheila cukup dekat dengan ibu kalau ia mampir ke rumahku untuk kerja kelompok bersama teman yang lainnya.

“Yang tabah ya Ruben.” Beberapa teman SMA berusaha menghiburku juga. Tapi itu jelas tak dapat menghiburku. Aku sendirian. Aku kehilangan lagi. Sesudah hari ini apa yang akan terjadi pada diriku. Apa yang harus aku lakukan. Usiaku baru 15 tahun, apa yang bisa dilakukan oleh anak usia segitu tanpa orangtua disisinya. Aku bingung.

Semua sanak keluarga ayah maupun ibu berada di luar kota Jakarta. Bahkan ada yang di luar negeri. Hanya ada beberapa sanak keluarga ibu yang sempat berkunjung karena peristiwa mendadak hari ini. Namanya Om Rudi. Ia adik kandung ibu yang masih bujangan, kebetulan sedang cuti pekerjaannya di Singapura untuk liburan di Indonesia.

“Om akan cuti lebih lama. Om akan bantu kamu mengurusi warisan ayah dan ibu kamu. Terutama rumah peninggalan almarhum ayah kamu, sebaiknya dijual untuk kehidupan dan pendidikan kamu. Om akan buka tabungan untuk kamu, dan kamu harus tinggal bersama eyang di Jawa Barat. Juga kamu harus pindah sekolah disana tentu saja.” Ujar Om Rudi dengan serius. Tangisku masih terisak. “maaf ya Ruben, om nggak bisa jagain kamu untuk waktu lama, karena om harus bekerja ikatan dinas di Singapura untuk waktu 4 tahun. Mungkin setahun dua kali om bisa ngunjungin kamu.”

“Iya om. Ruben akan turuti kata-kata om. Ruben sedih banget… nanti Ruben sendirian…” aku terus terisak. Padahal selama ini aku tak pernah menangis. Sewaktu kepergian ayah pun aku menahan air mata yang hampir keluar dari pelupuk mataku. Namun sekarang aku ga bisa nahan, karena aku telah kehilangan separuh nafasku.

“Kamu nggak sendirian, kamu masih punya om, eyang putri, eyang kakung, saudara-saudara kamu, dan teman-teman kamu. Kamu pasti bisa melalui kehidupan kamu, Ruben.”

Aku hanya mengangguk sambil merasa pesimis. Apa benar aku bisa melaluinya dengan mulus?

Aku masih memiliki beberapa minggu tinggal di Jakarta. Aku memanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendekatkan diri dengan teman-teman yang aku sayangi. Terutama bersama Cheila.

Cheila Saputri, gadis yang ramah dan sangat baik hati. Ia manis, wajahnya enak dipandang saat ku sedang bersedih karena wajahnya mengandung kesejukan apalagi jika ia tertawa. Terlebih lagi ia cukup pintar untuk menjawab 20 soal Matematika logika secara 100% benar. Kedekatan ku dengannya dimulai ketika MOS berlangsung. Tahun 2004 masih jaman senioritas dalam kehidupan SMA. Tentu saja MOS-nya macam-macam, seperti menggunakan tas yang terbuat dari karung beras, para siswi yang rambutnya panjang diikat jadi 3 seperti oneng, dan lain-lain yang bikin kita jadi sibuk sendiri.

Kebetulan ternyata rumahku dan Cheila satu kompleks, hanya berbeda blok. Aku blok I, ia blok K. Sejak MOS kami selalu pulang bareng, dan kami semakin berteman dekat. Cheila juga sering mampir kerumah aku untuk belajar masak dengan ibu yang masakan buatannya memang paling enak sedunia. Tapi koki hebat sedunia sudah tak ada disampingku.

“Ruben… lo mau pindah dari Jakarta ya?” tanya Cheila dengan suara parau.

Kami berbincang di rumahku yang sudah hampir tak ada isinya. Tinggal sandang milikku, rice cooker, kompor, 2 piring-gelas-sendok-garpu yang disisakan untukku. Semua yang masih bisa dijual telah dijual oleh Om Rudi. Barang-barangku sudah dikirim ke rumah eyang. Barang kedua orangtua seperti pakaian, disumbang ke panti ataupun ke orang-orang tidak mampu. Yang dapat aku simpan sebagai kenang-kenangan hanya foto mereka.“Iya… sekitar 2 minggu lagi gue akan pindah rumah dan sekolah di Cirebon. Gue akan menetap disana karena rumah ini harus dijual untuk ngebiayain kehidupan dan sekolah gue. Sebenernya gue nggak mau pergi dari sini, tapi gue harus.”

“Apa kita masih bisa berteman?” Cheila kelihatan pesimis tak dapat bertemu denganku lagi.

“Tentu saja kita masih bisa temenan, kan ada HP, kita bisa SMS-an atau telpon-telponan. Ya kan?!”

“Ketemunya?”

“Kita juga masih bisa ketemu walau nggak sesering sekarang. Yang penting kita tetep kontekan.”

“Lo mau kan janji sama gue, jangan pernah lupain gue ya.”

“Iya gue janji. Gue nggak akan pernah lupa sama lo. Lagipula masih ada waktu 2 minggu kan untuk kita lebih sering lagi ketemu sampai waktunya gue pergi dari sini.”

“Bener ya… lo janji ya, dan gue juga janji akan nemenin lo selama 2 minggu, lo nggak akan kesepian selama 2 minggu ini.” Aku melihat kesungguhan dimata Cheila. Mata yang sangat berempati, dan bukan pandangan seorang sahabat biasa.

Aku pun merasakan semua perhatian Cheila. Selama 2 minggu ini, Cheila menemaniku saat ku merasa sepi. Dia mendengar keluh kesahku lebih dalam lagi. Semua rasa pesimisku, dan dia menyemangati aku lagi. Tanpa tersadar dirinya terpancar kehangatan yang membuatku nyaman. Dada ini selalu bergetar saat memandangnya, saat mendengar celoteh kecilnya.

Perasaan ini timbul disana hari terakhir kebersamaan aku dan Cheila. Aku sudah membenahi semua barang terakhir di rumah peninggalan almarhum kedua orang tuaku yang akan dijual untuk membiayai kehidupanku selanjutnya. Truk pengangkut sudah datang, Om Rudi setengah jam lagi datang untuk menjemputku dan langsung menghantarkan aku ke rumah eyang di Jawa Barat.

“Ruben… aku nggak nyangka secepat ini kamu akan pergi..” ucap Cheila menggunakan bahasa aku-an beraut sedih.

“Maafin aku Cheil.”

“Daripada nanti aku nyesal… ada yang ingin kusampaikan..”

“Apa itu Cheil?”

“Ini untuk kamu…” Cheila memberikan sebuah kotak berbentuk hati besar. “Ruben… aku suka kamu dari dulu…” Sebuah kecupan hangat hadir di pipiku. Aku terkaget. Cheila pun langsung berlari pergi meninggalkanku yang terdiam di situ. Hanya terdiam tanpa mengejarnya… padahal saat itu perasaanku kepada Cheila juga sama.

Isi kotak hati besar itu adalah lipatan burung bangau kertas yang berjumlah seribu. Dan sepucuk surat yang mengungkapkan perasaan yang sederhana dan tulus…

Dear Ruben…

Maaf begitu tiba-tiba aku ungkapkan ini… aku suka kamu sejak pertemanan kita yang begitu erat… Tapi aku takut mengungkapkannya… Aku senang dekat denganmu…

Begitu syok saat aku denger kamu mau pergi… aku mempunyai rasa empati besar kepadamu… Aku hanya bisa mengungkapkannya dengan ini… 1000 bangau ini artinya cinta yang sudah kubuat dan kupendam lama… walaupun aku nggak tau perasaan kamu…

Aku sedih kamu pergi… tapi aku percaya dengan janji kamu… Aku nggak akan pernah lupakan kamu sebagai sahabat dan seseorang yang aku sayang.

With Love,… Cheila

Ps. 0856110331xx (ini no. hp aku)

Aku sangat menyesal hari terakhir itu aku tak mengungkapkan perasaanku, aku merasa sangat bodoh. Mungkin lain kali aku bisa menyatakan perasaanku yang tak sempat kuucapkan. Dia takkan pernah hilang dari ingatan dan perasaanku.

***

Masih Cirebon, 3 Juli 2007 tapi sudah pukul 17:02 karena lamunanku. Tiga tahun telah berlalu semenjak aku berpisah dengan Cheila. Tiga tahun pula aku kehilangan kontak dengannya sejak pertama. Aku rasa nomor handphone yang telah ia bubuhkan di suratnya tidak berguna. Seminggu kemudian aku baru ingin menghubunginya karena baru dibelikan handphone oleh Om Rudi. Nomor yang diberikan Cheila tidak dapat dihubungi. Aku belum menyerah. Setiap hari selama kurang lebih sebulan aku berusaha menghubunginya, tapi tetap saja tak dapat dihubungi. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi Cheila juga tak tahu nomor handphone-ku, sedangkan catatan semua nomor handphone teman-teman lamaku di Jakarta ketinggalan di lemari besar yang terbuat dari kayu jati, yang telah dijual kembali dengan harga yang lumayan. Aku tak tahu keadaannya sekarang. Apa ia menangis menantiku? Ataukah dia bahagia bersama pacar barunya? Aku tak tahu. Aku hanya berharap Cheila dalam keadaan baik-baik saja.

Selama setahun aku tinggal dengan eyang putra dan eyang putri. Tetapi 2 tahun yang lalu mereka pergi berobat ke Malaysia. Dan rumah tersebut harus dijual untuk pengobatan kedua eyangku. Dengan sebagian uang hasil penjualan rumah warisan kedua orangtuaku dibantu Om Rudi, aku membeli rumah sangat sederhana ini dengan satu kamar, satu kamar mandi, satu ruang santai (di-dwifungsi sebagai ruang tamu), dan satu dapur kecil dengan halaman yang kecil sebagai lahan tumbuhan.

Sekarang aku masih duduk di kelas 3 SMA, yang seharusnya aku sudah lulus sekolah. Tetapi aku melakukan beberapa masalah yang membuatku tinggal kelas. Ya beginilah kehidupan anak yang sebatang kara. Tak ada yang memperhatikan seluruh kehidupanku. Aku bebas bertindak apa saja. Bahkan yang terjahat pun. Misalkan aku sering keluar malam, ke clubbing bersama teman-temanku yang tentu saja berjiwa hura-hura. Di tempat clubbing bukan tidak mungkin aku ikut mencicipi alkohol dan drugs yang cukup membuatku melayang ke surga. Aku juga terjerat dalam pergaulan bebas, melakukan free-sex dengan teman sebayaku tanpa perasaan sayang atau cinta. Tak ada yang memperhatikan aku selama 2 tahun, tetapi setelah aku divonis tidak lulus Ujian Akhir Nasional dan karena seseorang yang baru saja menyentuh kehidupanku. Seperti Cheila namun dia bukan Cheila, cinta pertamaku. Dia adalah Mika Agnatha.

***

TWO SIDES WORLD *BAB DUA*

2. Hurting Heart

Sabtu, 11 November 2006

Dyon sudah nggak bisa menahan diri untuk bertemu dengan Eza. Maka, Dyon pun meminta bantuan Rio supaya mempertemukan dirinya dengan Eza. Dengan segala cara yang dibuat oleh Rio, akhirnya Eza pun mau bertemu dengan Dyon, yang sampai saat itu masih berstatus pacaran.

Dyon terlalu cepat datang di tempat janjian, di bilangan Gatot Subroto. Alhasil Dyon menunggu kedatangan Rio dan Eza. Dyon berpikir positif, pasti karena kemacetan lalu lintas kota Jakarta tercinta ini. Jadi jam 3 (waktu janjian) sudah terlewat.

Menunggu… lagi…? Kasian banget jadi orang kayak Dyon.

“Eh itu dia, Dyon!” Rio memanggil dari kejauhan. Dyon terlihat seperti kambing congek. Rio dan Eza baru sampai… naik bus umum.

Dyon hanya menatap, setengah senang, setengah dongkol ditambah sakit hati nunggu lagi… 3 jam + ½ jam… 3 ½ jam menunggu Eza.

“Eh... baru dateng ya.” Dyon pura-pura tersentak akan kedatangan mereka.

Eza tersenyum pahit. Dyon membalas dengan senyuman asam, karena melihat Eza yang begitu dingin.

“Dyon kangen sama Eza…” Dyon langsung merangkul tangan Eza.

“Eit, eit… malu… diliatin orang.” Eza menghindar.

Dyon hilang harapan lagi.

Jadi garing.

Dyon tak bisa mengungkapkan apa yang ingin ia ungkapkan, karena kesinisan Eza yang benar-benar berbeda, dari Eza yang Dyon kenal.

“Katanya Dyon mau ngomong sama Eza?” Tanya Rio.

“Ngg…” Dyon hanya bergumam tanpa makna.

“Mau ngomong apa? Cepetan. Habis ini gue dan Rio mau ke pesta ulang tahun temen… nggak enak kalo terlambat, apalagi kalo nggak datang.” Ungkap Eza seolah-olah jadi pengganggu acaranya. Sumpah, sikap Eza terlalu dingin. Angin dingin Kutub Utara seakan-akan menggelitik kulitnya… dan membekukan hatinya… sakit…

“Eza… boleh nggak… Dyon pingin duduk disebelah Eza sebentar… dan ngobrol sebentar.” Dyon minta izin. Kesannya formal. Benar-benar terasa asing.

Eza mengangguk tanpa sepatah kata pun.

Mereka bertiga duduk-duduk santai di eperan dekat tukang rokok dan minuman, sekalian nunggu bus.

“Eza… gue pengen bilang kalo sikap Eza makin berubah.”

“Ngg… nggak tuh biasa aja.”

“Apa usaha gue udah membuat kesempatan gue dan lo lebih besar??”

“Hmm… ya gitulah…” jawab Eza seadanya. “eh… hampir jam 4 nih. Acara ulang tahunnya Vina mulai jam 4 kan? Oh ya, Dyon… gue dan Rio cabut dulu ya. Soalnya beneran deh, mau ke ulang tahun temen…”

Hati Dyon tertusuk lagi, ini kan sama aja menghindar.

“Entar dulu dong Eza, Dyon mau ngomong sesuatu lagi.”

“Dari tadi mau ngomong sesuatu mulu… mana? Gue tungguin lo nggak ngomong-ngomong. Ngomong sih, tapi nggak makna.” Ucapan Eza sesejuk air danau di Kanada pas musim dingin. “ayo Rio. Kita cabut.”

“Eza…!” Rio seperti mau marahin Eza, tapi bingung musti ngomong darimana.

“Udahlah…!” Eza berjalan cepat, diikuti Rio. Dyon disamping Eza, tidak beranjak.

Di jembatan penyebrangan.

“Dyon anterin sampe ujung jembatan.”

“Ya udah, terserah Dyon.”

“Eza… Dyon mau nanya satu hal lagi.”

“Apa?”

“Eza masih sayang sama Dyon atau nggak?”

Eza terdiam sejenak, langkah kakinya terhenti.

“Gue harus jawab yang seperti apa?” Tanya Eza.

“Cukup jawab iya atau tidak.”

Eza diam lagi… lalu mulai menggerakkan bibirnya untuk berbicara. Senyumnya mengembang. Senyum tulus ini sudah lama tak hadir.

“Iya… iya Dyon.”

Dyon pun ikut mengumbangkan senyumnya.

“Yang bener? Coba ngomong yang lengkap? Kayak waktu itu… bilang, gue sayang sama lo, gitu.”

“Katanya jawab ya atau tidak aja?” Eza mulai jengkel.

“Dramatis dikit dong.” Dyon menggoyangkan lengan Eza.

“Nggak ah. Malu tau… sikap Dyon manja banget. Biasa aja, nanti dikira orang, lagi berantem!” Eza melepaskan tangan Dyon agak kasar. “udah ya. Da!!”

“Oh ya sudah… Bye!!!”

Eza nampak marah atas perilaku Dyon yang sedikit agresif. Eza tidak mengerti perasaan Dyon. Betapa Dyon merindukan Eza. Tapi Eza memang telah berubah. Firasat mulai terbesit… sepertinya hubungan seperti ini tidak akan bertahan lama.

Semakin lama Eza semakin menjauh… Dyon membalikkan badannya. Dyon tidak ingin melihat Eza semakin menjauh… nanti sesak. Karena suatu saat… cepat atau lambat, Dyon akan melihat Eza pergi. Hingga kehadirannya tak tampak lagi.

Sabtu, 18 November 2006

Pikiran Dyon sudah tak jernih lagi. Sikap idealisme, agresif, dan nekadnya mulai nampak lagi. Kebodohan yang seharusnya bisa ditampung, malah sengaja Dyon tumpahkan. Walaupun Dyon tahu dirinya akan menanggung rasa malu dan terluka. Hatinya yang kukuh menahan dirinya untuk tidak tinggal diam menunggu. Menunggu sampai luka hatinya terukir lagi? Lebih baik menghampiri luka itu. Daripada menunggu tak menentu… dan akhirnya sama-sama sakit.

Dyon berniat menghampiri Eza ke sekolahnya Eza, SMA Binadaya. Rencananya… mungkin Eza akan kaget karena kedatangan Dyon.

“Dyon… kenapa niat banget dateng kesini?” Tanya Imel, membantu Dyon mempertemukan dirinya dengan Eza.

“Iya. Gue ingin nanya ke Eza… mau Eza apa? Kenapa dia jadi berubah gini?”

“Apapun nanti kejadiannya. Gue mohon… jangan sampe lo nangis karena Eza ya. Karena Eza terlalu buruk buat lo tangisin. Sekali lagi gue kasih tau, Dyon. Lo itu cantik, lucu, baik, ramah, pinter… lo terlalu baik buat Eza. Eza tuh nggak ada bagus-bagusnya sama sekali.”

“Iya mel. Udah berkali-kali lo bilang kayak gitu. Tapi, perasaan gue nggak bisa gue tipu, gue sayang Eza apa adanya. Di mata gue, Eza itu ada sesuatu… sesuatu dibalik semua keburukannya. Gue tau itu… dan gue ingin tahu dia lebih banyak lagi.”

“Gue ngerti Dyon. Tapi lo harus mikir logis juga ya. Mikir pantas atau nggaknya. Pendek kata, Eza itu nggak pantas buat lo.”

“Hmm… lo pernah bilang itu. Kenyataannya, gue udah terlanjur sayang dia.”

“Satu hal… kalo lo sakit hati karna dia… jangan terlalu lama. Eza itu buang-buang waktu lo. Gue yakin, lo bakal dapetin cowok yang lebih baik dan lebih pintar dari Eza yang bego itu.”

Dyon hanya tersenyum kelu. Kelihatannya Imel kurang setuju dengan hubungan mereka. Apalagi niat Dyon menghampiri Eza ke sekolah.

Kringgg!!! Bel pulang SMA Binadaya berbunyi. Murid-murid SMA Binadaya yang masuk pagi, berhamburan keluar.

“Nah itu udah bel. Eza pasti ada di lapangan. Ayo gue anterin sampe lo ketemu Eza.” Ajak Imel. Dyon mengangguk.

Di lapangan rumput di depan SMA Binadaya, yang merupakan lapangan umum. Imel melihat Eza sedang duduk-duduk santai, lesehan, bersama teman-temannya. Dyon hanya celingak-celinguk mencari Eza, belum mendapatkannya.

“Itu Eza, yon!” ujar Imel.

“Mana?” mata Dyon kurang awas.

“Itu tuh, dia duduk di dekat pohon.”

“Mana sih??”

Dari kejauhan, kelihatannya Eza dapat memahami gerak-gerik Imel. Dan Eza melihat kedatangan Dyon walaupun dari jarak jauh.

“Eh?! Eh?! Dyon…! Eza mau kabur tuh? Cepet dikejar…” seru Imel spontan begitu melihat ancang-ancang Eza yang siap berlari.

“I… iya…!” Dyon spontan mengejar Eza. Eza benar-benar menghindar darinya.

Dyon berlari mengejar Eza. Kelihatan konyol. Kenapa Dyon harus mengalami kejadian menjengkelkan seperti ini. Dyon menahan air mata yang hampir jatuh dari pelupuk matanya.

Di sebuah tikungan, Eza langsung menghilang, karena larinya secepat kilat. Dyon tak dapat mengejar Eza.

Sebuah jalan yang sepi… di sebuah perumahan mewah yang kelihatan tak berpenghuni. Beberapa mobil yang diparkir di depan beberapa rumah mewah.

Dyon langsung berhenti begitu tahu, dia kehilangan jejak Eza. Sambil terengah-engah.

“Eza… Eza…!! Eza!!!” tangisan tak terbendung. Air mata mulai membasahi matanya. Pandangannya kabur.

Bruk!! Dyon jatuh tersimpu di aspal.

“Eza… kenapa lo jahat sama gue? Padahal gue hanya ingin ketemu sama lo… dan ngucapin beberapa kata…” air mata terus berjatuhan. Sendiri bersimpuh. Menanti kehilangan seseorang yang telah menemani hari-harinya walau singkat.

“Dyon…!” suara Eza. Eza keluar dari tempat persembunyiannya. Ternyata Eza bersembunyi di balik mobil Kijang yang diparkir di sekitar perumahan itu.

“Eza?” Dyon mulai bangkit.

“Sebelum lo ngucapin beberapa kata… gue ingin ngungkapkan beberapa kata juga… gue udah nggak sayang sama lo yon. Gue benci lo. Gue nggak suka sama sikap lo. Gue benci dengan cara lo ini. Sebaiknya kita udahin aja… kita putus…!”

Dyon tersenyum penuh kemunafikan.

“Kata-kata ini yang gue tunggu. Karena gue butuh kepastian… Bye-bye Eza!!” Dyon membalikkan badannya. Berjalan tegap berusaha tegar. Dyon dan Eza semakin berjauhan. Hingga tak akan pernah saling nampak, dan bertemu lagi.

Mata Dyon basah lagi… sembab… ingin ungkapkan kata ‘jangan putus’, tapi tak terungkap… sudahlah… memang seharusnya Eza pergi dari kehidupannya. Tapi Eza sudah mencoba merangkaikan benang ketulusan di hati Dyon. Walaupun Eza hanya pelangi sesaat yang menampakkan keindahan tak terungkap di dalam sanubari. Sanubari sesaat.

Tanggal 19 November 2006… Dyon patah hati (lagi!)

Tapakan langkahku terasa kaku

Mencari suatu yang tak pasti

Tertatih karna hati yang luka

Mawar yang merah

Membawa luka yang menusuk

Sanubari yang hampa

Datar tanpa gelombang

Menyisihkan sebutir harapan

Yang takkan terwujud

Karna badai yang lebat

Ingin kucabik-cabik

Dasar hati yang menggumpal

Membuat endapan yang mengeras

Terkikis oleh kasih yang hangat

Ada saatnya nanti…

Kulepaskan kenangan pelangi sesaat itu

Dan kusambut hangatnya mentari

Dear henohenomoheji…

Akhirnya Dyon putus dengan Eza. 3 bulan 2 minggu… Dyon berjalan bersama Eza… he is my rainbow… indahnya hanya sesaat jadi teringat lagu OVER THE RAINBOW,, tapi lagu itu nggak berhubungan dengan ini semua. Jadi ingin menyanyikan lagu WAKE ME UP WHEN SEPTEMBER END… karena hubungan Dyon dan Eza mulai tidak lancar sejak September… tapi bertahan lumayan juga… paling tidak, kenangan Dyon bersama Eza nggak akan pernah Dyon lupakan… Karena Eza adalah PACAR PERTAMA Dyon… jangan nangis Dyon… hiks hiks… ganbatte ne!!

Bye-bye ECHAN… My rainbow…!!! Fuh Rael gimana ya… kayaknya sudah nggak mungkin…(?)

_Dyon-chan_

Nb: smoga dapat pacar baru… ^^, +ntar patah hati lagi lho+ gapapah,, wee… :P

* * *